Jumat, 09 Mei 2014

(tulisan) cara mengajar

Cara Mengajar Efektif
 Mengajar adalah suatu seni. Guru yang cakap mengajar dapat merasakan bahwa mengajar di mana saja adalah suatu hal yang menggembirakan, yang membuatnya melupakan kelelahan. Selain itu guru juga dapat mempengaruhi muridnya melalui kepribadiannya. Guru yang ingin murid-muridnya mengalami kemajuan, perlu mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap teori dan praktek mengajar sehingga ia dapat terus-menerus meningkatkan cara mengajar. Sepuluh jenis prinsip dasar dalam cara mengajar yang disajikan di bawah ini, dapat dipakai sebagai petunjuk oleh para pengajar guna meningkatkan cara mengajar mereka. Menguasai Isi Pengajaran Hukum yang pertama dalam teori “Tujuh Hukum Mengajar” dari John Milton Gregory berbunyi: “Guru harus mengetahui apa yang diajarkan.” Jika guru sendiri mengetahui dengan jelas inti pelajaran yang akan disampaikan, ia dapat meyakinkan murid dengan wibawanya, sehingga murid percaya apa yang dikatakan guru, bahkan merasa tertarik terhadap pelajaran. Mengetahui dengan Jelas Sasaran Pengajaran Pengajaran yang jelas sasarannya membuat murid melihat dengan jelas inti dari pokok pelajaran itu. Mereka dapat menangkap seluruh liputan pelajaran, bahkan mengalami kemajuan dalam proses belajar. Empat macam ciri khas yang harus diperhatikan pada saat memilih dan menuliskan sasaran pengajaran: 1.    Inti dari sasaran harus disebutkan dengan jelas. 2.    Ungkapan penting dari sasaran harus bertitik tolak dari konsep murid. 3.    Sasaran harus meliputi hasil belajar. 4.    Hasil sasaran yang dapat dicapai. Contoh: Contoh-contoh di atas telah menjelaskan empat macam hasil belajar yang berbeda: pengetahuan, pengertian, sikap, dan ketrampilan. Utamakan Susunan yang Sistematis Pengajaran yang tidak bersistem bagaikan sebuah lukisan yang semrawut, tidak memberikan kesan yang jelas bagi orang lain. Tidak adanya inti, tidak tersusun, tidak sistematis, akan sulit dipahami dan sulit diingat. Oleh sebab itu inti pengajaran harus disusun dengan teratur dan sistematis. Banyak Gunakan Contoh KehidupanPada saat mengajar, seringlah menggunakan contoh atau perumpamaan kehidupan sehari-hari atau yang pernah dialami misalnya dalam perdagangan, rental, nilai uts / uas, dan lain sebagainyaContoh kehidupan adalah jembatan antara kebenaran ilmu dan dunia nyata    Cakap Menggunakan Bentuk Cerita Bentuk cerita tidak hanya diutarakan dengan kata-kata, namun juga boleh dicoba dengan menambahkan gerakan-gerakan, yang memperdalam kesan murid. Bentuk yang paling lazim adalah menggunakan perumpamaan untuk menjelaskan kebenaran. Menggunakan Panca Indera Murid Penggunaan bahan pengajaran yang berbentuk audio visual berarti menggunakan panca indera murid. Bahan pengajaran audio visual bukan saja cocok untuk Sekolah Minggu anak-anak, juga untuk Sekolah Minggu pelbagai usia. Ensiklopedia adalah buku yang sering dipakai oleh para ilmuwan, namun di dalamnya terdapat banyak penjelasan yang menggunakan gambar-gambar. Itu berarti bahwa para ilmuwan pun perlu bantuan gambar untuk mengadakan penelitian. Para ahli pernah mengadakan catatan statistik selama 15 bulan, sebagai hasilnya mereka mendapatkan persentase dari isi pelajaran yang masih dapat diingat oleh murid: bagi murid yang hanya tergantung pada indera pendengaran saja masih dapat mengingat 28%, sedangkan bagi murid yang menggunakan indera pendengaran ditambah dengan indra penglihatan dapat mengingat 78%. Melibatkan Murid dalam Pelajaran Melibatkan murid dalam pelajaran dapat menambah ingatan mereka, juga motivasi dan kegemaran mereka. Cara itu dapat menghilangkan kesalahpahaman yang mungkin terjadi ditengah pertukaran pikiran antara guru dan murid, selain mengurangi tingkah laku yang mengacau. Misalnya: biarkan murid menggunakan kata-katanya sendiri untuk menjelaskan argumentasi atau pendapatnya; biarlah murid menggali dan menemukan hubungan antar konsep yang berbeda, biarlah murid bergerak sebentar. Jika murid sibuk melibatkan diri dengan pelajaran, maka tidak ada peluang lagi untuk mengacau atau membuat ulah. Menguasai Kejiwaan Murid Guru yang ingin memberikan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan murid, tentu harus memahami perkembangan jiwa murid pada setiap usia. Ia juga harus mengetahui dengan jelas kebutuhan dan masalah pribadi mereka. Pengertian antara guru dan murid adalah syarat utama untuk komunikasi timbal balik. Komunikasi yang baik dapat membuat penyaluran pengetahuan menjadi lebih efektif. Gunakanlah Cara Mengajar yang Hidup Sekalipun memiliki cara mengajar yang paling baik, namun jika terus digunakan dengan tidak pernah diubah, maka cara itu akan hilang kegunaannya dan membuat murid merasa jemu. Cara yang terbaik adalah menggunakan cara mengajar yang bervariasi dan fleksibel, untuk menambah kesegaran. Menjadikan Diri Sendiri Sebagai Teladan Masalah umum para guru adalah dapat berbicara, namun tidak dapat melaksanakan. Pengajarannya ketat sekali, namun kehidupannya sendiri banyak cacat cela. Cara mengajar yang efektif adalah guru sendiri menjadikan diri sebagai teladan hidup untuk menyampaikan kebenaran, dan itu merupakan cara yang paling berpengaruh. Kewibawaan seseorang terletak pada keselarasan antara teori dan praktek. Jikalau guru dapat menerapkan kebenaran yang diajarkan pada kehidupan pribadinya, maka ia pun memiliki wibawa untuk mengajar. 

sumber :donupermana.wordpress.com/makalah/cara-mengajar-efektif/ 

Mengajar itu horisontal, bukan vertikal

Sifat mengajar yang horisontal berarti kita sebagai tentor menempatkan diri sama tinggi dengan siswa kita. Kita berbicara sebagai orang yang lebih dahulu tahu, bukan lebih pintar. Kita mentransfer ilmu, bukan memberi ilmu. Saya seringnya mengatakan seperti ini setelah perkenalan:
“Saya berdiri di depan anda sekalian bukan karena saya lebih pintar dari anda, namun hanya karena saya mengenal ilmu ini lebih dahulu daripada anda. Mungkin suatu saat diantara anda sekalian ada yang lebih mengerti ilmu ini daripada saya. Saya berkeyakinan kuat akan hal ini.”
Pernyataan diatas sudah memberikan dorongan kepada siswa untuk lebih santai dan lebih menikmati kebersamaannya dengan anda. Jika kelas sudah santai dan dinikmati, maka pelajaran mudah diberikan. Dalam memberikan pelajaran, anggaplah kita sedang bercerita tentang pengalaman sehingga ilmu apapun itu tidak terkesan menyeramkan.

Mengajar itu memberikan motivasi

Murid yang termotivasi, tidak mencontek.
Murid yang termotivasi, tidak mencontek.
Dalam mengajar, pastikan selalu memberikan motivasi kepada murid-murid kita. Motivasi bisa dilakukan di seluruh waktu, namun ada waktu-waktu yang terbaik.

Motivasi di pertemuan pertama

Untuk ini saya menjiplak guru SD saya dulu, namanya pak Jamari, beliau adalah guru IPA kelas 2. Saat pertemuan pertama, beliau membawa sebuah gambar Thomas Alva Edison dan memajangnya di depan kelas lalu bercerita tentang Thomas Alva Edison. Ketika saya naik kelas, saya melihat guru saya itu melakukan hal yang serupa pada adik kelas saya. Ya, setidaknya bagi anak-anak kelas 2 SD, kisah Edison itu inspiratif. :)

Motivasi pada tengah pelajaran

Saya terbiasa memberikan hadiah bagi mereka yang dapat mengerjakan sesuatu yang saya tugaskan di tengah-tengah pelajaran. Ini saya tiru dari seorang guru biologi SMP saya. Reward itu bisa berupa makanan atau minuman dan terkadang alat tulis. Reward ini bisa menyesuaikan dengan kebutuhan. Mungkin untuk guru sekolah bisa dengan menjanjikan kebebasan pekerjaan rumah bagi yang dapat menjawab pertanyaan. Yah, hal-hal semacam itulah, tergantung bagaimana kreatifitas dan keadaan.

Motivasi di akhir pelajaran

Untuk ini saya mencontoh dari tayangan di TV yang menampilkan kilasan sebelum jeda iklan. Saya terbiasa memberikan preview pelajaran selanjutnya pada bagian yang menarik sebelum kelas berakhir. Hal ini membuat siswa kita menjadi semangat untuk mengikuti kelas kita selanjutnya. Penasaran adalah senjata guru untuk membuat kelasnya menjadi diminati oleh murid-muridnya. :)
Dan tak lupa, sebagai seorang guru kita haruslah menjadi seseorang yang dapat menyakinkan murid kita bahwa mereka hebat. Kita harus bisa menanamkan kepada mereka bahwa mereka pasti bisa melakukan apa saja asalkan berusaha dengan baik. Hal ini dapat kita tempuh dengan menghindari kalimat-kalimat yang menurunkan keyakinan terhadap diri mereka sendiri. Saya sendiri berpendapat bahwa tidak ada orang bodoh, hanya saja memiliki pemahaman yang berbeda.

Mengajar itu memberikan contoh

Seorang guru SMA saya pernah mengatakan bahwa “ajarkan apa yang kamu bisa, bukan apa yang kamu tahu”. Maksudnya adalah apa yang kita ajarkan sebaiknya adalah sesuatu yang kita mengerti dan bisa kita lakukan. Lakukan dengan memberikan contoh. Ketika memberikan pelatihan, saya lebih banyak memberikan contoh dan mempraktekkan langsung supaya siswa mengerti dan tidak hanya mengimajinasikan dalam pikiran saja. Oleh karena itu sebagai guru kita harus paham konsep dari suatu hal yang diajarkan. Pemahaman konsep akan membuat kita mudah memberikan contoh apa saja dan memecahkan problematika yang mungkin dihadapi oleh para siswa.
Hal-hal diatas hanyalah sekelumit dari bagaimana mengajar yang baik. Selain dari pengalaman mengajar, pengalaman saya duduk sebagai siswa dari kecil hingga dewasa juga mempengaruhi kesimpulan tentang bagaimana seharusnya seorang guru itu mengajar. Mungkin ada yang mau menambahkan?

sumber :
 http://hanyalewat.com/20131070/trik-mengajar-supaya-siswa-tertarik-dan-termotivasi.html


Judul Buku  : Guru Gokil Murid Unyu
Penulis : J. Sumardianta
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan  : I, April 2013
Tebal : xiv + 306 halaman
ISBN : 978-602-7888-13-5

Mendidik murid agar bisa menjadi cerdas baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik itu tak semudah bagai membalik telapak tangan. Butuh usaha optimal dan kinerja profesional dari seorang guru untuk mewujudkan hal itu.
 
J. Sumardianta, penulis buku ini, barangkali adalah salah satu diantara sekian banyak contoh guru inspiratif yang bisa dijadikan teladan bagi para guru di negeri ini dalam dunia pendidikan.

Buku bertajuk Guru Gokil Murid Unyu ini adalah karya terbarunya berdasar pengalaman jerih payahnya selama 20 tahun menjadi guru di SMA Kolese John De Britto, Yogyakarta. Di sekolah itulah, Sumardianta mendapat ‘ilham’ sekaligus pelajaran maha dahsyat bahwa tugas guru itu menginspirasi murid, bukan mencekoki murid dengan obral bualan di kelas sepanjang waktu.
 
Sumardianta tak sekadar mengajar murid, tapi juga mendidiknya. Mengajar itu beda dengan mendidik. Mengajar itu sebatas menyampaikan materi pelajaran di kelas berdasarkan kurikulum yang sudah ada, tapi mendidik itu menginspirasi murid agar mau melakukan hal-hal luar biasa.

Meski zaman sudah serba digital, tapi nyatanya masih banyak murid yang bebal. Hal ini disebabkan karena gurunya terjebak sebatas mengajar materi pelajaran saja, bukan memahami karakter muridnya. Sehingga, faktanya membuktikan bahwa rutinitas sekolah pun tak lebih sekadar ‘khutbah harian’ yang membosankan bagi para murid.

Selama ini, banyak diantara para guru sekolah di Indonesia cenderung mendidik murid sebatas pada pemenuhan aspek kognitif saja, sehingga murid pun cenderung berorientasi mengejar nilai pelajaran ansich, bukan proses pembelajaran. Dari ‘kesalahan’ paradigma inilah, Sumardianta lantas tergerak ingin mengubah paradigma para guru yang cenderung terkungkung pada aturan kaku itu.

Karakter Guru Gokil

Murid era modern kini itu bukan lagi kertas kosong yang bisa ditulisi apa saja oleh para gurunya. Tapi, mereka kini sudah begitu kritis dan enggan berdiam diri dalam menyikapi pelbagai persoalan. Pendeknya, sudah tidak zamannya lagi murid saat ini menjadi ‘korban pembodohan’ dari gurunya.

Oleh karena itu, menurut Sumardianta menjadi guru itu harus gokil (hebat) agar kelak menghasilkan murid yang unyu (cerdas). Maksudnya, guru gokil (hebat) itu harus punya tiga karakter dalam proses mendidik muridnya; yakni guru bermental driver (pengemudi), winner (bermental juara), dan good listener (pendengar yang baik).

Guru bermental driver (pengemudi) adalah guru yang tidak sekadar menumpang hidup, mencari nafkah, dan mencari kenyamanan. Tapi, guru yang benar-benar berani mengatasi ketakutan, mengambil risiko, keluar dari zona nyaman, dan selalu menuntut diri lebih (hal: x) Sedangkan, guru bermental winner (juara) adalah guru yang punya segudang cara kreatif dan positif untuk membangkitkan muridnya menjadi juara, bukan guru yang menghalalkan segala cara demi meraih juara. Dan, guru berkarakter good listener adalah guru yang mau mendengarkan keluh-kesah pelbagai persoalan muridnya, bukan justru guru yang menghakimi persoalan muridnya.

Menjadi guru gokil itu tidak mudah, tapi bukan berarti sulit. Tugas utama guru gokil adalah menjadi ‘kawan inspiratif’ dalam situasi dan kondisi apapun bagi muridnya. Bukan sebaliknya, menjadi musuh yang menakutkan karena hanya pandai menghakimi keteledoran muridnya.
Guru gokil itu kerjanya bukan memanjakan murid, tapi melatih kemandirian murid. Sebagai tamsil, di SMA John de Britto sekolah tempat Sumardianta mengajar itu, ada program bertajuk “magang kerja sosial”. Selama seminggu penuh, para siswa diwajibkan kerja sosial di pelbagai tempat di luar kelas. Ada yang ditempatkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), perkampungan kumuh, panti jompo, panti penyandang autis, dan lain-lain. Tujuannya adalah agar para siswa dapat belajar secara mandiri bagaimana cara mengatasi masalahnya dan bisa menjauhkan dari kecenderungan sikap yang selfish-narcis-egoistic dan ASRI (generasi asik sibuk sendiri).

Selain itu, guru gokil pasti selalu punya banyak metode belajar yang unik, kreatif, dan tidak menjenuhkan. Salah satu metode yang pernah digunakan Sumardianta adalah tutorial teman sebaya (cooperative learning). Harus diakui, murid saat ini cenderung lebih suka diajar kawan-kawannya ketimbang gurunya sendiri. Metode ini bukan dimaksudkan mengabikan fungsi guru, melainkan lebih pada melatih guru menjadi rendah hati. Guru itu harus menyesuaikan gaya belajar muridnya, dan bukan sebaliknya.

Buku ini adalah kritik konstruktif bagi para guru yang masih cenderung berpikir ‘kolot’ bahwa guru itu adalah raja otoriter bagi muridnya, sehingga apapun yang menjadi kehendaknya harus dituruti. Guru gokil itu mampu membuat muridnya senang belajar. Bukan sebaliknya, membuat murid menjadi tidak betah belajar karena terbebani dengan keinginan-keinginan gurunya yang absurd.

Sudah saatnya, negeri ini harus melahirkan guru-guru gokil yang inspiratif agar kelak para muridnya menjadi unyu. Jika gurunya gokil, pasti muridnya unyu, karena mereka akan lebih cepat respect dan sering mengenang jasa gurunya dalam mengajar. Tapi sebaliknya, jika gurunya alay pasti muridnya juga lebay, karena sering abai dan hanya menjadi generasi ASRI (generasi asik sendiri). Dan itu, sudah dibuktikan Sumardianta lewat renungan dalam buku ini.

Peresensi: Ammar Machmud
Editor freelance Bentang Pustaka, Yogyakarta
- See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/01/27/285/932124/mendidik-murid-ala-guru-gokil#sthash.qgFek33E.dpuf
Judul Buku  : Guru Gokil Murid Unyu
Penulis : J. Sumardianta
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan  : I, April 2013
Tebal : xiv + 306 halaman
ISBN : 978-602-7888-13-5

Mendidik murid agar bisa menjadi cerdas baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik itu tak semudah bagai membalik telapak tangan. Butuh usaha optimal dan kinerja profesional dari seorang guru untuk mewujudkan hal itu.
 
J. Sumardianta, penulis buku ini, barangkali adalah salah satu diantara sekian banyak contoh guru inspiratif yang bisa dijadikan teladan bagi para guru di negeri ini dalam dunia pendidikan.

Buku bertajuk Guru Gokil Murid Unyu ini adalah karya terbarunya berdasar pengalaman jerih payahnya selama 20 tahun menjadi guru di SMA Kolese John De Britto, Yogyakarta. Di sekolah itulah, Sumardianta mendapat ‘ilham’ sekaligus pelajaran maha dahsyat bahwa tugas guru itu menginspirasi murid, bukan mencekoki murid dengan obral bualan di kelas sepanjang waktu.
 
Sumardianta tak sekadar mengajar murid, tapi juga mendidiknya. Mengajar itu beda dengan mendidik. Mengajar itu sebatas menyampaikan materi pelajaran di kelas berdasarkan kurikulum yang sudah ada, tapi mendidik itu menginspirasi murid agar mau melakukan hal-hal luar biasa.

Meski zaman sudah serba digital, tapi nyatanya masih banyak murid yang bebal. Hal ini disebabkan karena gurunya terjebak sebatas mengajar materi pelajaran saja, bukan memahami karakter muridnya. Sehingga, faktanya membuktikan bahwa rutinitas sekolah pun tak lebih sekadar ‘khutbah harian’ yang membosankan bagi para murid.

Selama ini, banyak diantara para guru sekolah di Indonesia cenderung mendidik murid sebatas pada pemenuhan aspek kognitif saja, sehingga murid pun cenderung berorientasi mengejar nilai pelajaran ansich, bukan proses pembelajaran. Dari ‘kesalahan’ paradigma inilah, Sumardianta lantas tergerak ingin mengubah paradigma para guru yang cenderung terkungkung pada aturan kaku itu.

Karakter Guru Gokil

Murid era modern kini itu bukan lagi kertas kosong yang bisa ditulisi apa saja oleh para gurunya. Tapi, mereka kini sudah begitu kritis dan enggan berdiam diri dalam menyikapi pelbagai persoalan. Pendeknya, sudah tidak zamannya lagi murid saat ini menjadi ‘korban pembodohan’ dari gurunya.

Oleh karena itu, menurut Sumardianta menjadi guru itu harus gokil (hebat) agar kelak menghasilkan murid yang unyu (cerdas). Maksudnya, guru gokil (hebat) itu harus punya tiga karakter dalam proses mendidik muridnya; yakni guru bermental driver (pengemudi), winner (bermental juara), dan good listener (pendengar yang baik).

Guru bermental driver (pengemudi) adalah guru yang tidak sekadar menumpang hidup, mencari nafkah, dan mencari kenyamanan. Tapi, guru yang benar-benar berani mengatasi ketakutan, mengambil risiko, keluar dari zona nyaman, dan selalu menuntut diri lebih (hal: x) Sedangkan, guru bermental winner (juara) adalah guru yang punya segudang cara kreatif dan positif untuk membangkitkan muridnya menjadi juara, bukan guru yang menghalalkan segala cara demi meraih juara. Dan, guru berkarakter good listener adalah guru yang mau mendengarkan keluh-kesah pelbagai persoalan muridnya, bukan justru guru yang menghakimi persoalan muridnya.

Menjadi guru gokil itu tidak mudah, tapi bukan berarti sulit. Tugas utama guru gokil adalah menjadi ‘kawan inspiratif’ dalam situasi dan kondisi apapun bagi muridnya. Bukan sebaliknya, menjadi musuh yang menakutkan karena hanya pandai menghakimi keteledoran muridnya.
Guru gokil itu kerjanya bukan memanjakan murid, tapi melatih kemandirian murid. Sebagai tamsil, di SMA John de Britto sekolah tempat Sumardianta mengajar itu, ada program bertajuk “magang kerja sosial”. Selama seminggu penuh, para siswa diwajibkan kerja sosial di pelbagai tempat di luar kelas. Ada yang ditempatkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), perkampungan kumuh, panti jompo, panti penyandang autis, dan lain-lain. Tujuannya adalah agar para siswa dapat belajar secara mandiri bagaimana cara mengatasi masalahnya dan bisa menjauhkan dari kecenderungan sikap yang selfish-narcis-egoistic dan ASRI (generasi asik sibuk sendiri).

Selain itu, guru gokil pasti selalu punya banyak metode belajar yang unik, kreatif, dan tidak menjenuhkan. Salah satu metode yang pernah digunakan Sumardianta adalah tutorial teman sebaya (cooperative learning). Harus diakui, murid saat ini cenderung lebih suka diajar kawan-kawannya ketimbang gurunya sendiri. Metode ini bukan dimaksudkan mengabikan fungsi guru, melainkan lebih pada melatih guru menjadi rendah hati. Guru itu harus menyesuaikan gaya belajar muridnya, dan bukan sebaliknya.

Buku ini adalah kritik konstruktif bagi para guru yang masih cenderung berpikir ‘kolot’ bahwa guru itu adalah raja otoriter bagi muridnya, sehingga apapun yang menjadi kehendaknya harus dituruti. Guru gokil itu mampu membuat muridnya senang belajar. Bukan sebaliknya, membuat murid menjadi tidak betah belajar karena terbebani dengan keinginan-keinginan gurunya yang absurd.

Sudah saatnya, negeri ini harus melahirkan guru-guru gokil yang inspiratif agar kelak para muridnya menjadi unyu. Jika gurunya gokil, pasti muridnya unyu, karena mereka akan lebih cepat respect dan sering mengenang jasa gurunya dalam mengajar. Tapi sebaliknya, jika gurunya alay pasti muridnya juga lebay, karena sering abai dan hanya menjadi generasi ASRI (generasi asik sendiri). Dan itu, sudah dibuktikan Sumardianta lewat renungan dalam buku ini.

Peresensi: Ammar Machmud
Editor freelance Bentang Pustaka, Yogyakarta
- See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/01/27/285/932124/mendidik-murid-ala-guru-gokil#sthash.qgFek33E.dpuf
Judul Buku  : Guru Gokil Murid Unyu
Penulis : J. Sumardianta
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan  : I, April 2013
Tebal : xiv + 306 halaman
ISBN : 978-602-7888-13-5

Mendidik murid agar bisa menjadi cerdas baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik itu tak semudah bagai membalik telapak tangan. Butuh usaha optimal dan kinerja profesional dari seorang guru untuk mewujudkan hal itu.
 
J. Sumardianta, penulis buku ini, barangkali adalah salah satu diantara sekian banyak contoh guru inspiratif yang bisa dijadikan teladan bagi para guru di negeri ini dalam dunia pendidikan.

Buku bertajuk Guru Gokil Murid Unyu ini adalah karya terbarunya berdasar pengalaman jerih payahnya selama 20 tahun menjadi guru di SMA Kolese John De Britto, Yogyakarta. Di sekolah itulah, Sumardianta mendapat ‘ilham’ sekaligus pelajaran maha dahsyat bahwa tugas guru itu menginspirasi murid, bukan mencekoki murid dengan obral bualan di kelas sepanjang waktu.
 
Sumardianta tak sekadar mengajar murid, tapi juga mendidiknya. Mengajar itu beda dengan mendidik. Mengajar itu sebatas menyampaikan materi pelajaran di kelas berdasarkan kurikulum yang sudah ada, tapi mendidik itu menginspirasi murid agar mau melakukan hal-hal luar biasa.

Meski zaman sudah serba digital, tapi nyatanya masih banyak murid yang bebal. Hal ini disebabkan karena gurunya terjebak sebatas mengajar materi pelajaran saja, bukan memahami karakter muridnya. Sehingga, faktanya membuktikan bahwa rutinitas sekolah pun tak lebih sekadar ‘khutbah harian’ yang membosankan bagi para murid.

Selama ini, banyak diantara para guru sekolah di Indonesia cenderung mendidik murid sebatas pada pemenuhan aspek kognitif saja, sehingga murid pun cenderung berorientasi mengejar nilai pelajaran ansich, bukan proses pembelajaran. Dari ‘kesalahan’ paradigma inilah, Sumardianta lantas tergerak ingin mengubah paradigma para guru yang cenderung terkungkung pada aturan kaku itu.

Karakter Guru Gokil

Murid era modern kini itu bukan lagi kertas kosong yang bisa ditulisi apa saja oleh para gurunya. Tapi, mereka kini sudah begitu kritis dan enggan berdiam diri dalam menyikapi pelbagai persoalan. Pendeknya, sudah tidak zamannya lagi murid saat ini menjadi ‘korban pembodohan’ dari gurunya.

Oleh karena itu, menurut Sumardianta menjadi guru itu harus gokil (hebat) agar kelak menghasilkan murid yang unyu (cerdas). Maksudnya, guru gokil (hebat) itu harus punya tiga karakter dalam proses mendidik muridnya; yakni guru bermental driver (pengemudi), winner (bermental juara), dan good listener (pendengar yang baik).

Guru bermental driver (pengemudi) adalah guru yang tidak sekadar menumpang hidup, mencari nafkah, dan mencari kenyamanan. Tapi, guru yang benar-benar berani mengatasi ketakutan, mengambil risiko, keluar dari zona nyaman, dan selalu menuntut diri lebih (hal: x) Sedangkan, guru bermental winner (juara) adalah guru yang punya segudang cara kreatif dan positif untuk membangkitkan muridnya menjadi juara, bukan guru yang menghalalkan segala cara demi meraih juara. Dan, guru berkarakter good listener adalah guru yang mau mendengarkan keluh-kesah pelbagai persoalan muridnya, bukan justru guru yang menghakimi persoalan muridnya.

Menjadi guru gokil itu tidak mudah, tapi bukan berarti sulit. Tugas utama guru gokil adalah menjadi ‘kawan inspiratif’ dalam situasi dan kondisi apapun bagi muridnya. Bukan sebaliknya, menjadi musuh yang menakutkan karena hanya pandai menghakimi keteledoran muridnya.
Guru gokil itu kerjanya bukan memanjakan murid, tapi melatih kemandirian murid. Sebagai tamsil, di SMA John de Britto sekolah tempat Sumardianta mengajar itu, ada program bertajuk “magang kerja sosial”. Selama seminggu penuh, para siswa diwajibkan kerja sosial di pelbagai tempat di luar kelas. Ada yang ditempatkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), perkampungan kumuh, panti jompo, panti penyandang autis, dan lain-lain. Tujuannya adalah agar para siswa dapat belajar secara mandiri bagaimana cara mengatasi masalahnya dan bisa menjauhkan dari kecenderungan sikap yang selfish-narcis-egoistic dan ASRI (generasi asik sibuk sendiri).

Selain itu, guru gokil pasti selalu punya banyak metode belajar yang unik, kreatif, dan tidak menjenuhkan. Salah satu metode yang pernah digunakan Sumardianta adalah tutorial teman sebaya (cooperative learning). Harus diakui, murid saat ini cenderung lebih suka diajar kawan-kawannya ketimbang gurunya sendiri. Metode ini bukan dimaksudkan mengabikan fungsi guru, melainkan lebih pada melatih guru menjadi rendah hati. Guru itu harus menyesuaikan gaya belajar muridnya, dan bukan sebaliknya.

Buku ini adalah kritik konstruktif bagi para guru yang masih cenderung berpikir ‘kolot’ bahwa guru itu adalah raja otoriter bagi muridnya, sehingga apapun yang menjadi kehendaknya harus dituruti. Guru gokil itu mampu membuat muridnya senang belajar. Bukan sebaliknya, membuat murid menjadi tidak betah belajar karena terbebani dengan keinginan-keinginan gurunya yang absurd.

Sudah saatnya, negeri ini harus melahirkan guru-guru gokil yang inspiratif agar kelak para muridnya menjadi unyu. Jika gurunya gokil, pasti muridnya unyu, karena mereka akan lebih cepat respect dan sering mengenang jasa gurunya dalam mengajar. Tapi sebaliknya, jika gurunya alay pasti muridnya juga lebay, karena sering abai dan hanya menjadi generasi ASRI (generasi asik sendiri). Dan itu, sudah dibuktikan Sumardianta lewat renungan dalam buku ini.

Peresensi: Ammar Machmud
Editor freelance Bentang Pustaka, Yogyakarta
- See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/01/27/285/932124/mendidik-murid-ala-guru-gokil#sthash.qgFek33E.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar