Cara Mengajar Efektif
sumber :donupermana.wordpress.com/makalah/cara-mengajar-efektif/
Mengajar itu horisontal, bukan vertikal
Sifat mengajar yang horisontal berarti kita sebagai tentor menempatkan diri sama tinggi dengan siswa kita. Kita berbicara sebagai orang yang lebih dahulu tahu, bukan lebih pintar. Kita mentransfer ilmu, bukan memberi ilmu. Saya seringnya mengatakan seperti ini setelah perkenalan:“Saya berdiri di depan anda sekalian bukan karena saya lebih pintar dari anda, namun hanya karena saya mengenal ilmu ini lebih dahulu daripada anda. Mungkin suatu saat diantara anda sekalian ada yang lebih mengerti ilmu ini daripada saya. Saya berkeyakinan kuat akan hal ini.”
Pernyataan diatas sudah memberikan dorongan kepada siswa untuk lebih santai dan lebih menikmati kebersamaannya dengan anda. Jika kelas sudah santai dan dinikmati, maka pelajaran mudah diberikan. Dalam memberikan pelajaran, anggaplah kita sedang bercerita tentang pengalaman sehingga ilmu apapun itu tidak terkesan menyeramkan.
Mengajar itu memberikan motivasi
Dalam mengajar, pastikan selalu memberikan motivasi kepada murid-murid kita. Motivasi bisa dilakukan di seluruh waktu, namun ada waktu-waktu yang terbaik.Motivasi di pertemuan pertama
Untuk ini saya menjiplak guru SD saya dulu, namanya pak Jamari, beliau adalah guru IPA kelas 2. Saat pertemuan pertama, beliau membawa sebuah gambar Thomas Alva Edison dan memajangnya di depan kelas lalu bercerita tentang Thomas Alva Edison. Ketika saya naik kelas, saya melihat guru saya itu melakukan hal yang serupa pada adik kelas saya. Ya, setidaknya bagi anak-anak kelas 2 SD, kisah Edison itu inspiratif.Motivasi pada tengah pelajaran
Saya terbiasa memberikan hadiah bagi mereka yang dapat mengerjakan sesuatu yang saya tugaskan di tengah-tengah pelajaran. Ini saya tiru dari seorang guru biologi SMP saya. Reward itu bisa berupa makanan atau minuman dan terkadang alat tulis. Reward ini bisa menyesuaikan dengan kebutuhan. Mungkin untuk guru sekolah bisa dengan menjanjikan kebebasan pekerjaan rumah bagi yang dapat menjawab pertanyaan. Yah, hal-hal semacam itulah, tergantung bagaimana kreatifitas dan keadaan.Motivasi di akhir pelajaran
Untuk ini saya mencontoh dari tayangan di TV yang menampilkan kilasan sebelum jeda iklan. Saya terbiasa memberikan preview pelajaran selanjutnya pada bagian yang menarik sebelum kelas berakhir. Hal ini membuat siswa kita menjadi semangat untuk mengikuti kelas kita selanjutnya. Penasaran adalah senjata guru untuk membuat kelasnya menjadi diminati oleh murid-muridnya.Dan tak lupa, sebagai seorang guru kita haruslah menjadi seseorang yang dapat menyakinkan murid kita bahwa mereka hebat. Kita harus bisa menanamkan kepada mereka bahwa mereka pasti bisa melakukan apa saja asalkan berusaha dengan baik. Hal ini dapat kita tempuh dengan menghindari kalimat-kalimat yang menurunkan keyakinan terhadap diri mereka sendiri. Saya sendiri berpendapat bahwa tidak ada orang bodoh, hanya saja memiliki pemahaman yang berbeda.
Mengajar itu memberikan contoh
Seorang guru SMA saya pernah mengatakan bahwa “ajarkan apa yang kamu bisa, bukan apa yang kamu tahu”. Maksudnya adalah apa yang kita ajarkan sebaiknya adalah sesuatu yang kita mengerti dan bisa kita lakukan. Lakukan dengan memberikan contoh. Ketika memberikan pelatihan, saya lebih banyak memberikan contoh dan mempraktekkan langsung supaya siswa mengerti dan tidak hanya mengimajinasikan dalam pikiran saja. Oleh karena itu sebagai guru kita harus paham konsep dari suatu hal yang diajarkan. Pemahaman konsep akan membuat kita mudah memberikan contoh apa saja dan memecahkan problematika yang mungkin dihadapi oleh para siswa.Hal-hal diatas hanyalah sekelumit dari bagaimana mengajar yang baik. Selain dari pengalaman mengajar, pengalaman saya duduk sebagai siswa dari kecil hingga dewasa juga mempengaruhi kesimpulan tentang bagaimana seharusnya seorang guru itu mengajar. Mungkin ada yang mau menambahkan?
sumber :
http://hanyalewat.com/20131070/trik-mengajar-supaya-siswa-tertarik-dan-termotivasi.html
Judul Buku : Guru Gokil Murid Unyu
Penulis : J. Sumardianta
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : I, April 2013
Tebal : xiv + 306 halaman
ISBN : 978-602-7888-13-5
Penulis : J. Sumardianta
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : I, April 2013
Tebal : xiv + 306 halaman
ISBN : 978-602-7888-13-5
Mendidik murid agar bisa menjadi cerdas baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik itu tak semudah bagai membalik telapak tangan. Butuh usaha optimal dan kinerja profesional dari seorang guru untuk mewujudkan hal itu.
J. Sumardianta, penulis buku ini, barangkali adalah salah satu diantara sekian banyak contoh guru inspiratif yang bisa dijadikan teladan bagi para guru di negeri ini dalam dunia pendidikan.
Buku bertajuk Guru Gokil Murid Unyu ini adalah karya terbarunya berdasar pengalaman jerih payahnya selama 20 tahun menjadi guru di SMA Kolese John De Britto, Yogyakarta. Di sekolah itulah, Sumardianta mendapat ‘ilham’ sekaligus pelajaran maha dahsyat bahwa tugas guru itu menginspirasi murid, bukan mencekoki murid dengan obral bualan di kelas sepanjang waktu.
Sumardianta tak sekadar mengajar murid, tapi juga mendidiknya. Mengajar itu beda dengan mendidik. Mengajar itu sebatas menyampaikan materi pelajaran di kelas berdasarkan kurikulum yang sudah ada, tapi mendidik itu menginspirasi murid agar mau melakukan hal-hal luar biasa.
Meski zaman sudah serba digital, tapi nyatanya masih banyak murid yang bebal. Hal ini disebabkan karena gurunya terjebak sebatas mengajar materi pelajaran saja, bukan memahami karakter muridnya. Sehingga, faktanya membuktikan bahwa rutinitas sekolah pun tak lebih sekadar ‘khutbah harian’ yang membosankan bagi para murid.
Selama ini, banyak diantara para guru sekolah di Indonesia cenderung mendidik murid sebatas pada pemenuhan aspek kognitif saja, sehingga murid pun cenderung berorientasi mengejar nilai pelajaran ansich, bukan proses pembelajaran. Dari ‘kesalahan’ paradigma inilah, Sumardianta lantas tergerak ingin mengubah paradigma para guru yang cenderung terkungkung pada aturan kaku itu.
Karakter Guru Gokil
Murid era modern kini itu bukan lagi kertas kosong yang bisa ditulisi apa saja oleh para gurunya. Tapi, mereka kini sudah begitu kritis dan enggan berdiam diri dalam menyikapi pelbagai persoalan. Pendeknya, sudah tidak zamannya lagi murid saat ini menjadi ‘korban pembodohan’ dari gurunya.
Oleh karena itu, menurut Sumardianta menjadi guru itu harus gokil (hebat) agar kelak menghasilkan murid yang unyu (cerdas). Maksudnya, guru gokil (hebat) itu harus punya tiga karakter dalam proses mendidik muridnya; yakni guru bermental driver (pengemudi), winner (bermental juara), dan good listener (pendengar yang baik).
Guru bermental driver (pengemudi) adalah guru yang tidak sekadar menumpang hidup, mencari nafkah, dan mencari kenyamanan. Tapi, guru yang benar-benar berani mengatasi ketakutan, mengambil risiko, keluar dari zona nyaman, dan selalu menuntut diri lebih (hal: x) Sedangkan, guru bermental winner (juara) adalah guru yang punya segudang cara kreatif dan positif untuk membangkitkan muridnya menjadi juara, bukan guru yang menghalalkan segala cara demi meraih juara. Dan, guru berkarakter good listener adalah guru yang mau mendengarkan keluh-kesah pelbagai persoalan muridnya, bukan justru guru yang menghakimi persoalan muridnya.
Menjadi guru gokil itu tidak mudah, tapi bukan berarti sulit. Tugas utama guru gokil adalah menjadi ‘kawan inspiratif’ dalam situasi dan kondisi apapun bagi muridnya. Bukan sebaliknya, menjadi musuh yang menakutkan karena hanya pandai menghakimi keteledoran muridnya.
Guru gokil itu kerjanya bukan memanjakan murid, tapi melatih kemandirian murid. Sebagai tamsil, di SMA John de Britto sekolah tempat Sumardianta mengajar itu, ada program bertajuk “magang kerja sosial”. Selama seminggu penuh, para siswa diwajibkan kerja sosial di pelbagai tempat di luar kelas. Ada yang ditempatkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), perkampungan kumuh, panti jompo, panti penyandang autis, dan lain-lain. Tujuannya adalah agar para siswa dapat belajar secara mandiri bagaimana cara mengatasi masalahnya dan bisa menjauhkan dari kecenderungan sikap yang selfish-narcis-egoistic dan ASRI (generasi asik sibuk sendiri).
Selain itu, guru gokil pasti selalu punya banyak metode belajar yang unik, kreatif, dan tidak menjenuhkan. Salah satu metode yang pernah digunakan Sumardianta adalah tutorial teman sebaya (cooperative learning). Harus diakui, murid saat ini cenderung lebih suka diajar kawan-kawannya ketimbang gurunya sendiri. Metode ini bukan dimaksudkan mengabikan fungsi guru, melainkan lebih pada melatih guru menjadi rendah hati. Guru itu harus menyesuaikan gaya belajar muridnya, dan bukan sebaliknya.
Buku ini adalah kritik konstruktif bagi para guru yang masih cenderung berpikir ‘kolot’ bahwa guru itu adalah raja otoriter bagi muridnya, sehingga apapun yang menjadi kehendaknya harus dituruti. Guru gokil itu mampu membuat muridnya senang belajar. Bukan sebaliknya, membuat murid menjadi tidak betah belajar karena terbebani dengan keinginan-keinginan gurunya yang absurd.
Sudah saatnya, negeri ini harus melahirkan guru-guru gokil yang inspiratif agar kelak para muridnya menjadi unyu. Jika gurunya gokil, pasti muridnya unyu, karena mereka akan lebih cepat respect dan sering mengenang jasa gurunya dalam mengajar. Tapi sebaliknya, jika gurunya alay pasti muridnya juga lebay, karena sering abai dan hanya menjadi generasi ASRI (generasi asik sendiri). Dan itu, sudah dibuktikan Sumardianta lewat renungan dalam buku ini.
Peresensi: Ammar Machmud
Editor freelance Bentang Pustaka, Yogyakarta - See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/01/27/285/932124/mendidik-murid-ala-guru-gokil#sthash.qgFek33E.dpuf
Judul Buku : Guru Gokil Murid Unyu
Penulis : J. Sumardianta
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : I, April 2013
Tebal : xiv + 306 halaman
ISBN : 978-602-7888-13-5
Penulis : J. Sumardianta
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : I, April 2013
Tebal : xiv + 306 halaman
ISBN : 978-602-7888-13-5
Mendidik murid agar bisa menjadi cerdas baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik itu tak semudah bagai membalik telapak tangan. Butuh usaha optimal dan kinerja profesional dari seorang guru untuk mewujudkan hal itu.
J. Sumardianta, penulis buku ini, barangkali adalah salah satu diantara sekian banyak contoh guru inspiratif yang bisa dijadikan teladan bagi para guru di negeri ini dalam dunia pendidikan.
Buku bertajuk Guru Gokil Murid Unyu ini adalah karya terbarunya berdasar pengalaman jerih payahnya selama 20 tahun menjadi guru di SMA Kolese John De Britto, Yogyakarta. Di sekolah itulah, Sumardianta mendapat ‘ilham’ sekaligus pelajaran maha dahsyat bahwa tugas guru itu menginspirasi murid, bukan mencekoki murid dengan obral bualan di kelas sepanjang waktu.
Sumardianta tak sekadar mengajar murid, tapi juga mendidiknya. Mengajar itu beda dengan mendidik. Mengajar itu sebatas menyampaikan materi pelajaran di kelas berdasarkan kurikulum yang sudah ada, tapi mendidik itu menginspirasi murid agar mau melakukan hal-hal luar biasa.
Meski zaman sudah serba digital, tapi nyatanya masih banyak murid yang bebal. Hal ini disebabkan karena gurunya terjebak sebatas mengajar materi pelajaran saja, bukan memahami karakter muridnya. Sehingga, faktanya membuktikan bahwa rutinitas sekolah pun tak lebih sekadar ‘khutbah harian’ yang membosankan bagi para murid.
Selama ini, banyak diantara para guru sekolah di Indonesia cenderung mendidik murid sebatas pada pemenuhan aspek kognitif saja, sehingga murid pun cenderung berorientasi mengejar nilai pelajaran ansich, bukan proses pembelajaran. Dari ‘kesalahan’ paradigma inilah, Sumardianta lantas tergerak ingin mengubah paradigma para guru yang cenderung terkungkung pada aturan kaku itu.
Karakter Guru Gokil
Murid era modern kini itu bukan lagi kertas kosong yang bisa ditulisi apa saja oleh para gurunya. Tapi, mereka kini sudah begitu kritis dan enggan berdiam diri dalam menyikapi pelbagai persoalan. Pendeknya, sudah tidak zamannya lagi murid saat ini menjadi ‘korban pembodohan’ dari gurunya.
Oleh karena itu, menurut Sumardianta menjadi guru itu harus gokil (hebat) agar kelak menghasilkan murid yang unyu (cerdas). Maksudnya, guru gokil (hebat) itu harus punya tiga karakter dalam proses mendidik muridnya; yakni guru bermental driver (pengemudi), winner (bermental juara), dan good listener (pendengar yang baik).
Guru bermental driver (pengemudi) adalah guru yang tidak sekadar menumpang hidup, mencari nafkah, dan mencari kenyamanan. Tapi, guru yang benar-benar berani mengatasi ketakutan, mengambil risiko, keluar dari zona nyaman, dan selalu menuntut diri lebih (hal: x) Sedangkan, guru bermental winner (juara) adalah guru yang punya segudang cara kreatif dan positif untuk membangkitkan muridnya menjadi juara, bukan guru yang menghalalkan segala cara demi meraih juara. Dan, guru berkarakter good listener adalah guru yang mau mendengarkan keluh-kesah pelbagai persoalan muridnya, bukan justru guru yang menghakimi persoalan muridnya.
Menjadi guru gokil itu tidak mudah, tapi bukan berarti sulit. Tugas utama guru gokil adalah menjadi ‘kawan inspiratif’ dalam situasi dan kondisi apapun bagi muridnya. Bukan sebaliknya, menjadi musuh yang menakutkan karena hanya pandai menghakimi keteledoran muridnya.
Guru gokil itu kerjanya bukan memanjakan murid, tapi melatih kemandirian murid. Sebagai tamsil, di SMA John de Britto sekolah tempat Sumardianta mengajar itu, ada program bertajuk “magang kerja sosial”. Selama seminggu penuh, para siswa diwajibkan kerja sosial di pelbagai tempat di luar kelas. Ada yang ditempatkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), perkampungan kumuh, panti jompo, panti penyandang autis, dan lain-lain. Tujuannya adalah agar para siswa dapat belajar secara mandiri bagaimana cara mengatasi masalahnya dan bisa menjauhkan dari kecenderungan sikap yang selfish-narcis-egoistic dan ASRI (generasi asik sibuk sendiri).
Selain itu, guru gokil pasti selalu punya banyak metode belajar yang unik, kreatif, dan tidak menjenuhkan. Salah satu metode yang pernah digunakan Sumardianta adalah tutorial teman sebaya (cooperative learning). Harus diakui, murid saat ini cenderung lebih suka diajar kawan-kawannya ketimbang gurunya sendiri. Metode ini bukan dimaksudkan mengabikan fungsi guru, melainkan lebih pada melatih guru menjadi rendah hati. Guru itu harus menyesuaikan gaya belajar muridnya, dan bukan sebaliknya.
Buku ini adalah kritik konstruktif bagi para guru yang masih cenderung berpikir ‘kolot’ bahwa guru itu adalah raja otoriter bagi muridnya, sehingga apapun yang menjadi kehendaknya harus dituruti. Guru gokil itu mampu membuat muridnya senang belajar. Bukan sebaliknya, membuat murid menjadi tidak betah belajar karena terbebani dengan keinginan-keinginan gurunya yang absurd.
Sudah saatnya, negeri ini harus melahirkan guru-guru gokil yang inspiratif agar kelak para muridnya menjadi unyu. Jika gurunya gokil, pasti muridnya unyu, karena mereka akan lebih cepat respect dan sering mengenang jasa gurunya dalam mengajar. Tapi sebaliknya, jika gurunya alay pasti muridnya juga lebay, karena sering abai dan hanya menjadi generasi ASRI (generasi asik sendiri). Dan itu, sudah dibuktikan Sumardianta lewat renungan dalam buku ini.
Peresensi: Ammar Machmud
Editor freelance Bentang Pustaka, Yogyakarta - See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/01/27/285/932124/mendidik-murid-ala-guru-gokil#sthash.qgFek33E.dpuf
Penulis : J. Sumardianta
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : I, April 2013
Tebal : xiv + 306 halaman
ISBN : 978-602-7888-13-5
Mendidik murid agar bisa menjadi cerdas baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik itu tak semudah bagai membalik telapak tangan. Butuh usaha optimal dan kinerja profesional dari seorang guru untuk mewujudkan hal itu.
J. Sumardianta, penulis buku ini, barangkali adalah salah satu diantara sekian banyak contoh guru inspiratif yang bisa dijadikan teladan bagi para guru di negeri ini dalam dunia pendidikan.
Buku bertajuk Guru Gokil Murid Unyu ini adalah karya terbarunya berdasar pengalaman jerih payahnya selama 20 tahun menjadi guru di SMA Kolese John De Britto, Yogyakarta. Di sekolah itulah, Sumardianta mendapat ‘ilham’ sekaligus pelajaran maha dahsyat bahwa tugas guru itu menginspirasi murid, bukan mencekoki murid dengan obral bualan di kelas sepanjang waktu.
Sumardianta tak sekadar mengajar murid, tapi juga mendidiknya. Mengajar itu beda dengan mendidik. Mengajar itu sebatas menyampaikan materi pelajaran di kelas berdasarkan kurikulum yang sudah ada, tapi mendidik itu menginspirasi murid agar mau melakukan hal-hal luar biasa.
Meski zaman sudah serba digital, tapi nyatanya masih banyak murid yang bebal. Hal ini disebabkan karena gurunya terjebak sebatas mengajar materi pelajaran saja, bukan memahami karakter muridnya. Sehingga, faktanya membuktikan bahwa rutinitas sekolah pun tak lebih sekadar ‘khutbah harian’ yang membosankan bagi para murid.
Selama ini, banyak diantara para guru sekolah di Indonesia cenderung mendidik murid sebatas pada pemenuhan aspek kognitif saja, sehingga murid pun cenderung berorientasi mengejar nilai pelajaran ansich, bukan proses pembelajaran. Dari ‘kesalahan’ paradigma inilah, Sumardianta lantas tergerak ingin mengubah paradigma para guru yang cenderung terkungkung pada aturan kaku itu.
Karakter Guru Gokil
Murid era modern kini itu bukan lagi kertas kosong yang bisa ditulisi apa saja oleh para gurunya. Tapi, mereka kini sudah begitu kritis dan enggan berdiam diri dalam menyikapi pelbagai persoalan. Pendeknya, sudah tidak zamannya lagi murid saat ini menjadi ‘korban pembodohan’ dari gurunya.
Oleh karena itu, menurut Sumardianta menjadi guru itu harus gokil (hebat) agar kelak menghasilkan murid yang unyu (cerdas). Maksudnya, guru gokil (hebat) itu harus punya tiga karakter dalam proses mendidik muridnya; yakni guru bermental driver (pengemudi), winner (bermental juara), dan good listener (pendengar yang baik).
Guru bermental driver (pengemudi) adalah guru yang tidak sekadar menumpang hidup, mencari nafkah, dan mencari kenyamanan. Tapi, guru yang benar-benar berani mengatasi ketakutan, mengambil risiko, keluar dari zona nyaman, dan selalu menuntut diri lebih (hal: x) Sedangkan, guru bermental winner (juara) adalah guru yang punya segudang cara kreatif dan positif untuk membangkitkan muridnya menjadi juara, bukan guru yang menghalalkan segala cara demi meraih juara. Dan, guru berkarakter good listener adalah guru yang mau mendengarkan keluh-kesah pelbagai persoalan muridnya, bukan justru guru yang menghakimi persoalan muridnya.
Menjadi guru gokil itu tidak mudah, tapi bukan berarti sulit. Tugas utama guru gokil adalah menjadi ‘kawan inspiratif’ dalam situasi dan kondisi apapun bagi muridnya. Bukan sebaliknya, menjadi musuh yang menakutkan karena hanya pandai menghakimi keteledoran muridnya.
Guru gokil itu kerjanya bukan memanjakan murid, tapi melatih kemandirian murid. Sebagai tamsil, di SMA John de Britto sekolah tempat Sumardianta mengajar itu, ada program bertajuk “magang kerja sosial”. Selama seminggu penuh, para siswa diwajibkan kerja sosial di pelbagai tempat di luar kelas. Ada yang ditempatkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), perkampungan kumuh, panti jompo, panti penyandang autis, dan lain-lain. Tujuannya adalah agar para siswa dapat belajar secara mandiri bagaimana cara mengatasi masalahnya dan bisa menjauhkan dari kecenderungan sikap yang selfish-narcis-egoistic dan ASRI (generasi asik sibuk sendiri).
Selain itu, guru gokil pasti selalu punya banyak metode belajar yang unik, kreatif, dan tidak menjenuhkan. Salah satu metode yang pernah digunakan Sumardianta adalah tutorial teman sebaya (cooperative learning). Harus diakui, murid saat ini cenderung lebih suka diajar kawan-kawannya ketimbang gurunya sendiri. Metode ini bukan dimaksudkan mengabikan fungsi guru, melainkan lebih pada melatih guru menjadi rendah hati. Guru itu harus menyesuaikan gaya belajar muridnya, dan bukan sebaliknya.
Buku ini adalah kritik konstruktif bagi para guru yang masih cenderung berpikir ‘kolot’ bahwa guru itu adalah raja otoriter bagi muridnya, sehingga apapun yang menjadi kehendaknya harus dituruti. Guru gokil itu mampu membuat muridnya senang belajar. Bukan sebaliknya, membuat murid menjadi tidak betah belajar karena terbebani dengan keinginan-keinginan gurunya yang absurd.
Sudah saatnya, negeri ini harus melahirkan guru-guru gokil yang inspiratif agar kelak para muridnya menjadi unyu. Jika gurunya gokil, pasti muridnya unyu, karena mereka akan lebih cepat respect dan sering mengenang jasa gurunya dalam mengajar. Tapi sebaliknya, jika gurunya alay pasti muridnya juga lebay, karena sering abai dan hanya menjadi generasi ASRI (generasi asik sendiri). Dan itu, sudah dibuktikan Sumardianta lewat renungan dalam buku ini.
Peresensi: Ammar Machmud
Editor freelance Bentang Pustaka, Yogyakarta - See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/01/27/285/932124/mendidik-murid-ala-guru-gokil#sthash.qgFek33E.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar